cfFp0twC8a3yW2yPPC8wDumW5SuwcdlZsJFakior
Bookmark

Hukum Melaksanakan Aqiqah Untuk Sang Anak dan Ketentuan Hari Pelaksanaannya

Secara umum, hukum melaksanakan aqiqah adalah sunnah. Adapun detail kesunahannya akan dijelaskan pada penjelasan berikut ini.

Melaksanakan Aqiqah Untuk Anak Menurut Muhammad Saifudin Hakim)

Hukum Aqiqah Menurut Pandangan Ulama

Hukum aqiqah merupakan topik yang diperselisihkan di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa aqiqah wajib bagi yang mampu, sedangkan mayoritas ulama atau jumhur ulama berpendapat bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi yang mampu. Pendapat terakhir ini dipegang oleh Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam kitabnya Fiqh Tarbiyatul Abna’.

Pelaksanaan Aqiqah

Aqiqah dianjurkan dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran anak dengan menyembelih hewan aqiqah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelih hewan aqiqah untuknya pada hari ketujuh, (kepala) digundul (pelontos) dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838, Tirmidzi no. 1522 dan An-Nasa’i 7/166 dan Ibnu Majah no. 3165, shahih)

Sejarah dan Tradisi Aqiqah di Masa Jahiliyah

Tradisi aqiqah juga ada di masa jahiliyah, namun dengan beberapa perbedaan. Salah satunya adalah melumuri kepala bayi dengan darah hewan aqiqah setelah disembelih, tradisi ini kemudian dihapus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penetapan Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dianjurkan menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh kelahiran. Jika belum bisa pada hari ketujuh, maka dapat dilakukan pada hari keempat belas atau kedua puluh satu. At-Tirmidzi berkata:

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُذْبَحَ عَنِ الغُلَامِ العَقِيقَةُ يَوْمَ السَّابِعِ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ يَوْمَ السَّابِعِ فَيَوْمَ الرَّابِعَ عَشَرَ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ عُقَّ عَنْهُ يَوْمَ حَادٍ وَعِشْرِينَ

“Status hadits ini adalah hasan shahih. Inilah yang diamalkan oleh para ulama. Dianjurkan untuk menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh. Jika hewan aqiqah belum tersedia pada hari ketujuh, maka disembelih pada hari keempat belas. Jika pada hari keempat belas belum tersedia, hewan aqiqah disembelih pada hari kedua puluh satu.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/101)

Kontroversi dan Kesepakatan Ulama

Meski At-Tirmidzi menyebut adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai hukum aqiqah yang sunnah, klaim ini tidak sepenuhnya tepat. Namun, ulama sepakat bahwa dianjurkan melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh, keempat belas, atau kedua puluh satu, jika memungkinkan. Jika pada hari-hari tersebut belum bisa, pelaksanaan aqiqah boleh dilakukan kapan saja tanpa harus menunggu hari kelipatan tujuh.

Jika orang tua belum mampu melaksanakan aqiqah pada waktu-waktu tersebut, diperbolehkan menunda hingga mereka mampu melakukannya.

Penutup

Melaksanakan aqiqah merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah atas kelahiran anak dan menjadi salah satu tradisi yang sarat makna dalam Islam. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum pelaksanaannya, yang terpenting adalah niat dan kemampuan orang tua dalam melaksanakan ibadah ini. Semoga dengan melaksanakan aqiqah, kita bisa mendapatkan keberkahan dan ridha dari Allah SWT.

Posting Komentar

Posting Komentar

close