-->
cfFp0twC8a3yW2yPPC8wDumW5SuwcdlZsJFakior
Bookmark

Hubungan Antara Puasa Arafah dan Wuquf di Arafah, Puasa Arafah Bukan Karena Wuquf

Pada tahun ini, tahun 2022, terdapat perbedaan pendapat tentang penetapan tanggal kalender bulan Dzulhijjah. Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa tanggal 10 Dzulhijjah atau hari raya idul Adha bertepatan dengan tanggal 10 Juli 2022. Dan secara otomatis tanggal 9 Dzulhijjah atau hari Arafah juga bertepatan dengan tanggal 9 Juli 2002. 

Sementara ada lembaga lain yang jauh hari telah menetapkan bahwa tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan 9 Juli 2022. Sehingga hari Arafah jatuh pada tanggal 8 Juli 2022. Perbedaan tentang penetapan tanggal tersebut sedikit banyak telah membuat bingung sebagian kalangan umat Islam.

Banyak orang menghubung-hubungkan antara Wuquf di Arafah dan Puasa Arafah (yaitu puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah), kemudian mereka mengklaim bahwa terjadinya puasa Arafah di segala belahan dunia juga harus bertepatan dengan terjadinya wuquf di Arafah di Mekkah. Apakah memang benar demikian?

Klaim tersebut tentunya tidak tepat, karena puasa Arafah dan Idul Adha sudah dikenal oleh umat Islam sejak tahun ke-2 Hijriyah, jauh sebelum disyariatkannya Wuquf di Arofah yang baru dilakukan Nabi ﷺ pada saat beliau melaksanakan Haji Wada' pada tahun 10 H. 

Definisi puasa hari Arafah 

Yang menjadi patokan dalam puasa Arafah adalah penanggalan hijriyah, sebab definisi puasa Hari Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Ini termasuk puasa yang rutin diamalkan oleh Nabi Muhammad ﷺ setiap tahun. Dalam sebuah hadits disebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

"Bahwa Rasulullah ﷺ biasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah (Arafah), hari Asyura, tiga hari setiap bulan, Senin pertama setiap bulan, dan dua kali Kamis." (HR An-Nasai)

Dalam penanggalan Hijriyah, yang menjadi patokan adalah terlihatnya Hilal di satu daerah. Jika hilal tidak terlihat pada malam ke 29, maka bulan digenapkan menjadi 30 hari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang puasa Ramadhan:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

"Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (permulaan) bulan samar bagi kalian, maka sempurnakanlah bulan (menjadi 30 hari)." (HR Bukhari-Muslim)

Penetapan bulan berdasarkan Rukyatul Hilal ini bukan hanya untuk Bulan Ramadhan dan Syawal saja, melainkan untuk bulan-bulan lainpun demikian. Dalam Bughyatul Mustarsyidin dikatakan:

لا يثبت رمضان كغيره من الشهور الا برؤية الهلال أو كمال العدة ثلاثين بلا فارق

"Tidak ditetapkan Bulan Ramadhan, dan bulan-bulan lain kecuali dengan melihat Hilal atau menyempurnakan bulan menjadi tiga puluh hari tanpa ada perbedaan." (Bughyatul Mustarsyidin: 108)

Karena tempat dan posisi terbit matahari dan bulan tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, maka tentunya akan sering terjadi perbedaan penetapan awal Bulan Hijriyah, terutama antara daerah yang berjauhan. 

Jika hal itu terjadi, maka setiap daerah seyogyanya berpatokan dengan hasil rukyatul hilal pada masing-masing wilayahnya. Hal ini berpedoman pada zaman para sahabat, karena pada saat itu, perbedaan ini pun pernah terjadi. Dan Sahabat Abdullah bin Abbas RA menegaskan bahwa setiap daerah memiliki  hukum tersendiri berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan:

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ

"Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa Ummul Fadhl bintil Hartrs telah mengutusnya menemui Sahabat Muawiyah di  Negeri Syam. Kuraib menceritakan:

"Aku tiba di negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku dan ia menyebutkan tentang Hilal di Syam. Ibnu Abbas ra bertanya,

“Kapan engkau melihat hilal?”.

“Aku melihatnya malam Jumat”, jawabku.

Ibnu Abbas bertanya lagi, “Kamu melihatnya sendiri?”.

“Ya, orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu’awiyah pun berpuasa”, jawab Kuraib.

Ibnu Abbas berkata, “Tetapi kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari atau kami melihat hilal”.

Kuraib bertanya, “Tidakkah cukup dengan rukyatul Hilal yang dilakukan oleh Mu’awiyah?”

Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah Rasulullah ﷺ memerintahkan kami.” (HR. Muslim)

Dari pemaparan ini menjadi jelas bahwa penetapan tanggal hijriyah tergantung kepada rukyatul Hilal di daerah masing-masing. Karena awal Dzulhijjah di Indonesia pada tahun ini (2022 M) telah ditetapkan pada tanggal 1 Juli berdasarkan keputusan pemerintah yang berlandaskan pada rukyatul hilal, maka rakyat Indonesia semestinya melakukan puasa Arafah pada tanggal 9 Juli, dan berlebaran Idul Adha pada tanggal 10 Juli. 

Hal ini berbeda dengan penduduk belahan bumi lain yang melihat Hilal pada tanggal 30 Juni. Maka puasa Arafah bagi mereka dilakukan pada tanggal 8 Juli, dan Idul Adha bagi mereka jatuh pada tanggal 9 Juli. Jadi masing-masing daerah memiliki hukum tersendiri.

Perbedaan ini hendaknya tidak dijadikan sebagai bahan perselisihan. Bahkan semestinya menjadi bahan pelajaran dan renungan bagi umat Islam tentang keagungan kuasa Allah ﷻ. Bagaimana bulan dan matahari beredar pada orbitnya masing-masing sehingga menjadikan setiap belahan bumi memiliki perbedaan waktu yang tidak sama. Setiap matahari terbit di satu tempat, itulah juga saat tenggelamnya matahari di tempat lain. 

Jika di satu daerah seorang muslim sedang berpuasa di siang hari, di belahan bumi lain ada yang sedang khusyuk dalam shalat malamnya. Setiap saat adalah pagi, siang, sore, dan malam di belahan bumi masing-masing. Setiap saat adalah waktu Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya di belahan bumi masing-masing. Setiap saat adalah waktu berdzikir, tidak pernah hentinya nama Allah ﷻ disebutkan sampai masa yang ditentukan oleh Allah ﷻ. Subhanallah..

Demikian pemaparan sederhana ini kami sampaikan, semoga bermanfaat untuk semua. Aamiin ya robbal alamiin.

Sumber: https://dakwah.rabithahalawiyah.id/
0

Posting Komentar